Untung Ada Jeda

brown wooden bench on green grass field during daytime
Photo by Gary Ellis

Jeda yang Gak Disengaja

Saya pernah dihajar ratusan orang di internet. Dan lucunya, yang nyelametin saya adalah… pesta nikahan ponakan saya.

23 Februari 2020, keponakan saya nikah, dan saya membantu jadi panitia bagian kordinasi video dan fotografer. Sore hari saat perjalanan ke lokasi acara, saya iseng buka Facebook dan nemu foto menyentuh: seorang pekerja bangunan di Jakarta sedang memeluk istri dan anaknya dari balik pagar proyek. Saya save dan saya unggah foto tersebut ke Twitter dengan caption singkat, “foto yang membuat tercenung.” Posted!

Setelah itu, saya nggak pegang HP lagi karena acara sudah dimulai. Saya fokus hingga acara selesai. Malam harinya saya beres-beres, bersih-bersih dan bersiap untuk mandi dan tidur. Saat itu lah saya buka HP… dan kaget! 

Ada puluhan ribu notifikasi yang sudah masuk. Isinya netizen marah-marah. Retweet tembus 26 ribu. Saya dicap maling! Semua karena satu hal: saya nggak nyantumin nama fotografer di foto yang saya upload. Ya mana saya tahu, bahkan saya juga lupa foto itu saya ambil dari postingan siapa di facebook. Padahal, sumpah, niat saya cuma iseng. Nggak ada maksud ngaku-ngaku. Tapi ya gitu, internet tetaplah internet, tempat di mana niat baik nggak bisa dilihat, apapun niatnya kalau netizen lihat itu salah ya salah.

Untungnya, karena sibuk jadi panitia, saya benar-benar nggak sempat mantengin twitter. Dan itu justru jadi nyelametin saya. Ketika akhirnya saya buka HP, badai sudah mereda. Komentar sudah nggak ada yang masuk lagi. Saya pun bisa membaca semuanya dengan kepala sedikit lebih dingin. Mungkin karena saya juga udah capek juga sama urusan kawinan, jadi nggak ada tenaga untuk ngapa-ngapain. Saya diam, tidak membalas satu per satu. 

Kalau saya baca pas notifikasi lagi deras-derasnya, pas badai kemarahan netizen lagi dahsyat-dahsyatnya, mungkin saya akan ikut terpancing emosi, saya akan membaca dengan wajah memanas dan membalas satu-satu dengan jari tremor, pasti melelahkan.

Dari komentar-komentar yang saya baca sekilas, ada satu orang yang mention sang fotografer. Setelah selesai mandi, saya DM si fotografer, langsung ajalah ke sumbernya, daripada ngadepin netizen-netizen gak jelas. Saya sudah siap buat disemprot sama yang punya foto, kalau emang dia mau marah itu hak dia saya juga udah siap buat minta maaf.

Dan seperti banyak kasus di dunia nyata: yang punya karya biasa aja, jauh lebih santai. Saya minta maaf. Dia menerima… udah kelar. Kami ngobrol baik-baik. Bahkan, kami akhirnya janjian ketemu langsung. Saya ajak mas fotografer untuk mengunjungi pasangan suami-istri yang ada di dalam foto itu. Dan ternyata… si fotografer pun sebenarnya ingin minta maaf karena merasa bersalah, telah memotret keluarga itu tanpa izin. Momen pertemuan kami jadi ajang saling minta maaf. Masalah selesai. Tanpa drama, tanpa perang urat syaraf.

Saya bersyukur. Ternyata jeda kecil karena jadi panitia nikahan itu yang menyelamatkan saya dari ledakan stress yang lebih besar. 

‘Untung ada acara kawinan.’

Jeda yang Dipaksa

Dan, rupanya, enam hari kemudian dunia memberikan saya jeda yang lebih panjang. Lebih brutal. Lebih tidak bisa ditolak.

2 Maret 2020. Pemerintah mengumumkan kasus Corona pertama. Setelah itu, lockdown. Semua orang dikurung di rumah. Dunia berubah. Panik, bingung, takut, bosan.

Saya masih kebayang-bayang insiden twitter kemaren. Saya pun berharap dan bilang ke diri sendiri: “Apapun yang terjadi, saya harus bisa keluar dari pandemi ini dengan selamat. Dan suatu hari nanti, saya bisa bilang

 ‘Untung ada pandemi.’

Hari-hari panjang pun datang. Kita semua stay at home. Work from home jadi tren. Kantor-kantor beradaptasi. Zoom meledak. Semua orang mulai buka online shop. Termasuk saya.

Saya dari sebelum pandemi punya usaha mainan edukasi dari kardus: Prakardus. Biasanya, tiap weekend saya dan istri keliling untuk mengisi acara ulang tahun anak-anak buat workshop bikin mainan. Karena pelanggan semakin banyak saya berencana mau hire orang buat bikin website supaya orang semakin mudah menjangkau kami secara online. Tapi pandemi bikin semua itu berhenti. Saya dipaksa jeda.

Saya banyak menghabiskan waktu di depan komputer. Saya buka YouTube, dan nonton video tutorial bikin website. Durasi nya DELAPAN JAM saya tonton sampai habis. Kalau bukan pandemi, mana sempat?  Saya pelajari, saya praktekkan dan saya pun berhasil bikin website dari nol. Dari sebelumnya mau hire orang, akhirnya bikin sendiri: prakardus.com.

saya juga jadi sempat mempelajari ilmu digital marketing lebih dalam. Saya pindahkan bisnis saya dari offline jadi online. Bukan cuma bertahan, tapi justru ketemu arah baru. Pandemi yang awalnya terbayang akan menghambat, malah jadi mesin akselerasi.

Kita sering nunggu “waktu luang” buat ngelakuin hal-hal diluar rutinitas yang mungkin bisa mengubah hidup kita jadi lebih baik. Dan biasanya itu nggak bakal kejadian karena kesibukan yang ada. 

Saya nemu quote di Instagram: “If you can’t go outside, go inside.” Saya lupa siapa yang pertama mengucapkan kalimat ini, Semoga netizen nggak marah lagi.

Selama ini kita menghabiskan waktu dengan kesibukan yang sifanya ke luar diri kita. Traveling, scrolling, flexing, seolah ada tuntutan untuk dapat validasi orang lain atas apa pun yang kita lakukan. Tapi jarang banget yang menyempatkan diri untuk duduk diam dan melihat potensi yang kita punya di dalam diri kita. Kita nggak berani coba hal baru dengan alasan nggak ada waktu. 

Momen pandemi adalah contoh nyata bahwa segalanya mungkin kalau kita dipaksa. Kita nggak pernah kebayang meeting menggunakan video setiap saat. Orang-orang yang sebelumnya alergi teknologi, mendadak jago ganti background video di pantai atau pake filter kepala pisang. Orang tua tiba-tiba jadi guru dadakan. Olahraga yang biasanya di gym, sekarang cukup pakai matras dan video YouTube di ruang tamu. 

Kita nggak pernah kebayang tujuh hari 24 jam di rumah tanpa keluar. Kebiasaan-kebiasaan yang dulu terasa “nggak mungkin”, tiba-tiba jadi “yah sudahlah”  Karena apa? Karena keadaan maksa kita untuk berhenti, menyesuaikan diri, dan menemukan ulang arah.

Saya belajar banyak hal selama Pandemi termasuk mulai mengumpulkan bahan untuk menulis di blog ini. Saya jadi sadar: kita perlu jeda secara sadar, bukan nunggu jeda.

Jeda yang Disadari

Selama ini sudah banyak yang lupa mengambil jeda, padahal tersedia kapan saja. Kita dikasih malam yang harus nya tidur? malah begadang. Dikasih waktu istirahat rebahan malah scroll tiktok sampai berjam-jam. Saya sebagai muslim sebenarnya sudah diberi waktu jeda sholat lima kali sehari malah sering menyia-nyiakan. 

Saya merasa Sholat itu kayak tombol RE-CENTER di Google Map. Kalau kita udah nyasar jauh dari arah hidup yang benar, tinggal pencet tombol itu. Bahkan ada bacaan wajib dalam sholat yang artinya “Tunjukkanlah ke jalan yang lurus.” Sholat, atau bentuk jeda spiritual lainnya, bukan tentang jadi orang sok suci. Tapi tentang menyadari: gue nyasar jauh nggak nih? Saatnya lihat rute lagi dan putar balik kalau salah arah.

Lihat sekeliling. Kita hidup di dunia yang menawarkan segala macam cara untuk menghabiskan waktu. Self-reward sana-sini. Nongkrong demi konten. Beli ini itu untuk membuat orang lain terkesan.  Di LinkedIn pamer gelar, di Instagram pamer kekayaan di tiktok pamer goyangan. Semua sibuk tampil on-point. Dan kita tanpa sadar terseret untuk ikutan kompetisi yang nggak pasti ini.

Dunia ini terlalu cepat. Dan satu-satunya cara buat tetap waras adalah dengan berani menekan tombol jeda. Inilah kenapa blog ini ada. Karena kita butuh rem. Karena kita perlu secara sadar tahu kapan dan bagaimana mengambil jeda.

Ini bukan soal malas, ini soal waras. Ini bukan soal berhenti total, ini soal memperlambat langkah agar nggak nabrak tembok yang bikin kita jatuh terpental.

Yang akan saya tulis ini juga bukan ajakan untuk menyendiri di gunung atau pergi ketemu orang suci di tibet,  Kecuali lo punya duit dan berjiwa petualang sih ya silakan aja. Tapi saya tulis agar kita bisa mengambil jeda secara sadar. Jeda buat tarik napas. Jeda buat mikir. Jeda biar nggak jadi robot yang sibuk bergerak tapi nggak tahu kenapa.

Karena kalau bukan kita yang pencet tombol jeda, dunia yang bakal pencet tombol nya dan kalau kita nggak siap bisa meledak kapan saja.

Silakan dibagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Post

AI, Imajinasi, dan Integritas Bernarasi

  Beberapa minggu lalu, Divisi Humas Polri merilis video animasi yang tampaknya digarap dengan bantuan AI dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara.  Dalam video tersebut, polisi digambarkan sebagai “pahlawan masa kini” berpakaian seragam, dengan sayap lebar menyelamatkan warga, dan berjalan penuh wibawa di tengah kobaran api. Reaksi publik terbagi dua: antara yang memuji keberaniannya bereksperimen, dan

Read More »
generate gambar menggunakan Gemini luqman

Beli Karena Cerita, Bukan Karena Diskon

Sore itu saya ketemuan dengan teman lama saya, Dimas. Kami ngobrol soal pekerjaan, kesibukan, dan seperti biasa di usia kepala empat, obrolan kami berakhir dengan curhat tentang tubuh yang makin gampang encok. Maklum raga ini mulai renta, hahaha. Mulailah kita ngobrolin tips diet, suplemen herbal dan olahraga yang mulai kami tekuni. Dimas bercerita kalau dia

Read More »
text

Apakah Masih Relevan Beli Buku di Era Digital?

Beberapa waktu lalu, seorang teman bertanya, “Ngapain lo bikin konten video ttiap hari soal buku, siapa yang nonton? Semua orang sudah bisa belajar dari Google. apalagi ada AI” Pertanyaan sederhana ini sebenarnya refleksi sesuatu yang lebih dalam yaitu pergeseran cara masyarakat saat ini dalam menyerap pengetahuan. Saat TikTok bisa menunjukkan video konsep ekonomi dalam 60

Read More »

Hai, saya Luqman
Saya nulis hal-hal yang nyangkut di kepala aja. Tentang kerjaan, buku, film, atau kehidupan sebagai orang tua.

Kadang nulis jawaban panjang dari obrolan di threads, dan sesekali nulis tentang makanan favorit saya.

Saya nggak janji hidup kalian bakal berubah setelah baca blog ini. Tapi kalau kalian lagi butuh sudut pandang tambahan dari orang biasa, mungkin ini tempat yang pas.

Jadi, silakan scroll-scroll, baca-baca, tinggalkan komen juga boleh, bagikan kalau dirasa perlu.

makasih. 

M Luqman baehaqi
Partner
Favorit
Explore